SELALU SALAHKAH SALAH JURUSAN ?

Hampir semua orang yang sekarang telah bekerja atau yang sedang belajar di perguruan tinggi punya pengalaman salah jurusan. Sebagian orang melihat dan langsung menuding bahwa banyaknya pelaku salah jurusan ini sebetulnya menunjukkan adanya ketidakberesan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Mereka menyalahkan kurikulum sekolah/perguruan tinggi di Indonesia yang sejak awal memang tidak mampu merangsang siswa/mahasiswa untuk menggali minat pribadi mereka, untuk kemudian membimbing mereka agar menemukan jalan yang tepat untuk mencapainya. Malangnya lagi, di tengah kelingkungan ini berbagai pihak turut menekan si pelajar/mahasiswa tadi untuk memilih jurusan tertentu yang cocok dan memuaskan harapan mereka. Orangtua misalnya, kadang tergoda bahkan menuntut sang anak agar mengejar cita-cita yang ia sendiri dulu gagal mencapainya. Namun, ada pula kubu yang mulai menganggap salah jurusan sebagai sesuatu yang harus diterima secara wajar. Toh, bukan hanya pelajar Indonesia saja yang mengalaminya, tapi juga banyak pelajar/mahasiswa lain di penjuru bumi. Berikut ini adalah berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh “si salah” jurusan, antara lain :

1. Bertanggung Jawablah
Seorang mahasiswa - katakanlah namanya “danu” , lulusan perguruan tinggi swasta dengan geram mengatakan bahwa mahasiswa perguruan tinggi negeri/swasta yang salah jurusan, lalu kuliah asal-asalan, lantas lulus dengan keahlian pas-pasan adalah mahasiswa yang tidak bertanggung jawab. Apalagi, jika kesalahjurusan itu bermula dari si mahasiswa itu sendiri yang punya semangat asal kuliah dan menyandang status mahasiswa. Ketika memilih jurusan (dulu di formulir UMPTN atau formulir masuk PTS), pilihan pertama adalah jurusan yang ia minati, dan pilihan kedua adalah jurusan apa saja yang sekiranya ia akan mengalahkan para pesaing dengan gampang. Menurut Danu, tindakan semacam itu merugikan si calon mahasiswa dan masyarakat sekaligus. Yang dimaksud masyarakat adalah para calon mahasiswa lain yang sebenarnya berminat dan lebih “berhak” atas jurusan yang ia serobot itu, lalu orangtua, dan rakyat secara keseluruhan yang telah membiayai dan mengharap mereka lulus dengan ilmu yang mumpuni demi kemajuan bangsa. Pesannya, kalau mau bertanggung jawab, ya harus serius dengan jurusan pilihan yang sudah terlanjur di pilih.

2. Jurusan Tak Menentukan Karier
Sekarang, denagan semakin cepatnya perkembangan zaman, terutama dunia kerja, anggapan tentang salahnya salah jurusan sudah mulai bergeser. Orang sudah mulai melihat bahwa salah jurusan itu sebenarnya bukan persoalan asalkan ia tidak dianggap sebagai sebagai penghalang kemajuan seseorang. Salah jurusan sesungguhnya justru bisa dijadikan sarana latihan agar kita lebih lincah dalam berfikir dan berkarier. Dan sungguh, kelincahan semacam itu memang sangat diperlukan sekarang.
Pendapat bahwa memilih jurusan itu akan selalu menetukan karier kita kelak dan bahwa memilih profesi itu harus sesuai dengan latar belakang pendidikan formal kita, agaknya harus kita koreksi, Riset membuktikan bahwa sepuluh tahun setelah lulus dari jurusan tertentu, mayoritas orang akan mencari pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan jurusannya.
Dari kalangan penulis yang kita kenal saja, jika tidak membaca biodatanya, siapa yang menyangka kalau Pak Taufik Ismail itu seorang dokter hewan dan pernah menjadi pejabat public relation perusahaan besar.
IPB (Institut Pertanian Bogor) selain dipelesetkan menjadi Institut Pleksibel Banget, juga pernah dijuluki sekolah omnivora (pemakan segala) gara-gara lulusannya yang merambah dan sukses pula- di berbagai bidang pekerjaan, dari teknologi informasi, perbankan, wartawan, sampai pialang saham.
Jika pekerjaan harus selalu didasarkan pada pendidikan formal yang telah kita lampaui, alangkah garingnya hidup kita. Lagipula, jika suatu lowongan pekerjaan selalu memanggil seseorang dari satu jurusan tertentu, alangkah terbatasnya pilihan, dan betapa banyak pintu tertutup buat para pencari kerja berijazah.
Jadi, kita harus yakin jika misalnya sekarang kita belajar di fakultas hukum, lapangan pekerjaan yang tersedia buat kita bukan cuma menjadi jaksa, hakim, dan pengacara. Kita bisa menjadi penulis berita, reporter, atau presenter televisi di bidang hukum dan kriminalitas, dan sebagainya. Jika sekarang kita belajar di Fakultas Ekonomi Akuntansi misalnya, kita harus yakin bahwa disamping menjadi auditor pemerintah, pejabat pajak, bea cukai dan lain-lain yang bersangkut-paut dengan keuangan negara, kita harus yakin bahwa kita pun punya peluang untuk menjadi redaktur sebuah perusahaan majalah misalnya.
3. Anda Penentunya
Pada akhirnya, bukan ijazah yang harus menyesuaikan dengan pekerjaan kita, tapi kitalah yang harus menyesuaikan diri dengan suatu pekerjaan yang harus kita tangani. Seleksi yang dilakukan oleh para penyedia lapangan kerja adalah untuk menjaring orang yang cocok alias mampu beradaptasi dengan pekerjaan itu, syukur-syukur kalau latar belakang pendidikan orang itu mendukung.
Pendidikan yang tinggi, apapun jurusannya, sebenarnya hanya fasilitas untuk maju. Sekolah atau jurusan bahkan tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang sama persis dengan apa yang akan kita hadapi selepas kuliah. Lihat, betapa cepatnya suatu jenis pekerjaan itu berubah. Ada yang berubah cara penyelesaiannya, ada yang menjadi usang, bahkan ada pula yang punah. Dan tengok, betapa jenis pekerjaan yang baru yang tidak kita bayangkan sebelumnya tiba-tiba bermunculan. Itu semua menuntut kelincahan kita termasuk kesediaan kita untuk menghargai dan mempelajari ilmu lain di luar spesialisasi kita.
Pada titik inilah, sikap mengagung-agungkan jurusan tertentu seraya meremehkan jurusan yang lain sepertinya layak kita tertawai.
Sumber : Majalah Annida No.16/XIV/1, penulis : Agus Budiman 

TENTANG WAKTU

Ambillah waktu untuk berfikir, itu adalah sumber kekuatan
Ambillah waktu untuk bermain, itu adalah rahasia dari masa muda yang abadi
Ambillah waktu untuk berdoa, itu adalah sumber ketenangan
Ambillah waktu untuk belajar, itu adalah sumber kebijaksanaan
Ambillah waktu untk mencintai dan dicintai, itu adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan
Ambillah waktu untuk bersahabat, itu adalah jalan menuju kebahagiaan
Ambillah waktu untuk tertawa, itu adalah music yang menggetarkan hati
Ambillah waktu untuk memberi, itu adalah pembuat hidup terasa berarti
Ambillah waktu untuk bekerja, itu adalah nilai keberhasilan
Ambillah waktu untuk beramal, itu adalah kunci menuju surga

BUNUH DIRI DI GUNUNGKIDUL

Persoalan bunuh diri di Gunungkidul cukup menarik untuk disimak, karena sejak dekade 1980-an hingga saat ini Gunungkidul memang masih dikenal sebagai daerah yang banyak ditemui kasus bunuh diri. Dan banyaknya kasus bunuh diri ini sering dikaitkan dengan mitos “pulung gantung”, mitos ini telah lama dikenal oleh masyarakat Gunungkidul, sehingga seakan-akan tingginya kasus bunuh diri di Gunungkidul disebabkan oleh adanya mitos “pulung gantung”, padahal, mungkin tidak ada keterkaitan sama sekali antara mitos tersebut dengan realitas bunuh diri yang ada,
Munculnya mitos ini sebetulnya bermula dari perjalanan orang-orang majapahit ke Gunungkidul. Alkisah, ketika pecah perang Majapahit melawan Demak pada abad ke-15 , banyak putra Majapahit yang lari menyelamatkan diri ke Gunungkidul. Pada waktu itu Gunungkidul masih berupa hutan belantara, sehingga cukup enak untuk bersembunyi dari kejaran musuh.
Putra Mahkota Bondan Surati, putra ke 26 raja Majapahit, bersama-sama saudaranya Wonokusumo dan Wonoboyo di antara orang Majapahit yang menyelamatkan diri itu. Sesampainya di Gunungkidul ia beralih nama menjadi Prabu Anom Brawijaya. Tujuan ke Gunungkidul, selain berlindung juga mencari wahyu keraton. Tapi setelah tau bahwa wahyu itu tidak akan jatuh padanya, ia ganti nama Panembahan Brawijaya.
Akan halnya Panembahan Brawijaya yang menjadi menantu ki Guacoka, menurunkan panji Hardjodipuro yang menjabat Panji di Semanu. Panji Hardjo punya putra ayu, Rara Supadmi yang menjadi rebutan dua demang, yaitu demang Piyaman (Wonopawiro) dan demang Seneng (Puspowilogo). Tidak hanya Bondan Surati ada lagi putra ke -28 raja Majapahit , Raden Joko Guntur, yang bermukim di dekat goa Gremeng. Di antara para pelarian dari Majapahit yang bermaksud bertahan mencari perlindungan atau keselamatan itu ada yang mampu bertahan dengan kondisi hutan belantara, tetapi banyak juga yang tidak tahan menghadapinya. Mereka yang tidak mampu bertahan di hutan belantara memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Kisah bunuh diri mereka itu oleh “orang-orang tua” masih cukup dikenal. Dalam menuturkan kisah bunuh diri tersebut tidak lupa diperkenalkan dengan mitos pulung gantung. Tapi tidak jelas betul, apakah ada kaitan antara mitos pulung gantung dengan kisah bunuh diri di Gunungkidul sebagian orang pelarian dari majapahit tersebut, mengingat hingga sekarang belum ditemukan sebuah dokumen yang menjelaskan keterkaitan dua fenomena tersebut.
Kisah bunuh diri yang sejak lama terjadi di Gunungkidul telah dikaji oleh seorang bernama Darmaningtyas, Asal Gunungkidul yang menjadikan berita mengenai fenomena bunuh diri yang dikaitkan dengan pulung gantung menjadi tugas akhirnya (skripsi) sebagai mahasiswa Filsafat UGM tahun 199 , yang kemudian dikaji kembali oleh Runtik, mahasiswa antropologi UGM tahun 1994 dengan mengacu data bunuh diri yang diperoleh dari berbagai sumber dari tahun 1980 sampai 2001. Dimana pada penelitiannya menyatakan bahwa penyebab utamanya adalah lebih karena adanya tekanan-sosial yang amat berat.
Ketika berbicara mengenai Gunungkidul,di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebuah daerah di nusantara ini, yang selain dikenal sebagai daerah asal nenek moyang kerajaan mataram yang penuh misteri kosmis, juga dikenal sebagai daerah busung lapar awal tahun 1960-an, daerah asal gaplek dan thiwul sebelum tahun 1970-an, daerah tandus dibagian selatan tapi hijau di bagian utara dengan jalan-jalan yang mulus sejak 1980-an, daerah asal music campur sari awal 1990-an, adalah juga sepanjang masa, daerah yang terkenal karena tingginya kasus bunuhdiri.
Pengetahuan tentang mitos “pulung gantung” selama ini banyak diperoleh dengan cara wawancara dengan sejumlah informan. Dikutip dalam sebuah buku karya Darmaningtyas mengenai pulung gatung adalah sejenis benda angkasa mirip balon berekor panjang warna biru – atau kebanyakan orang menyebutnya dengan “siwur” (gayung tradisional yang terbuat dari batok kelapa dan punya pegangan dari bambu atau kayu sekitar 50 cm) – yang berjalan di angkasa dari satu titik ke titik yang lain dan kemudian di suatu tempat. Asal kemunculannya di ruang angkasa tidak pernah tahu secara persis, tahu-tahu masyarakat melihat benda itu telah berjalan dan kemudian jatuh.
Kisah tentang pulung gantung telah melekat dalam hidup orang kampung di Gunungkidul, meskipun demikian banyak orang kampung tidak pernah tahu secara pasti sejak kapan kisah tentang pulung gantung muncul. Yang pasti kasus bunuh diri yang terjadi di Gunungkidul selalu dikaikan dengan mitos “Pulung gantung”. Hal ini mungkin karena jumlahnya sangat tinggi, juga modusnya hampir semua dengan cara menggantung. hanya sebagian kecil saja yang memakai cara lain seperti minum racun, melukai diri, membakar diri, dan lainnya.
Kisah dari beberapa informan mengatakan bahwa ketika seseorang melihat pulung gantung tersebut jatuh ke rumah salah seorang warga maka merupakan suatu isyarat akan ada orang dari rumah yang kejatuhan pulung tersebut bunuh diri dengan cara menggantung. Pulung gantung sudah tidak terkenal lagi untuk masyarakat Gunungkidul pada saat ini, karena mitos baru yang menurut beberapa informan mengatakan bahwa ketika seseorang ada yang meninggal dengan cara menggantung akan maka arah muka menghadap adalah lokasi dimana akan terjadi peristiwa bunuh diri dengan cara menggantung.
Gambaran mengenai besarnya angka bunuh diri di kabupaten Gunungkidul dalam kurun waktu 2001–2008), data-data yang duperoleh dari kapolres Gunungkidul dapat terlihat dalam bentuk tabel disamping ini. Data disamping memperlihatkan secara jelas bahwa kasus bunuh diri terbanyak tidak ditemukan di daerah yang paling tandus seperti kecamatan Panggang, Purwosari, Tanjungsari, Paliyan, Saptosari. Tapi justru terjadi di daerah –daerah yang relative subur dan kaya. Kecamatan Semanu, Karangmojo, Wonosari wilayah yang cukup subur dan makmur untuk lingkup Gunungkidul. Tapi justru di daerah tersebut banyak ditemukan kasus bunuh diri.
Cara-cara yang dipakai untuk melakukan bunuh diri pun masih cukup beragam, sifatnya masih tetap konvensional , yaitu dengan memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitarnya , seperti gantung diri dengan tali, minum racun, membakar diri, melukai diri, menembak diri, atau menceburkan diri ke sumur,/luweng/sungai. beluum pernah isal melakukan dengna bom peledak rakitan yang mereka persiapkan sebelumnya. Kecenderungan yang sama terjadi pada kasusu bunuh dirir di gunungkidul. Hanya saja selama ini, kasus bunu diri di gunung kidul ituu selalu di kaitkan dengan mitos “pulung gantung” sehingga seoah-olah tingginya angka bunuh diri di gunungkidul karena faktor tersebut. Beberapa faktor terjadinya kasus bunuh diri yang terjadi adalah kurang, yaitu kemiskinan atau tekanan ekonomi menjadi penyebab utama bunuh diri di gunungkidul. Faktor kurang ini dibalut dengan dengan faktor wirang (rasa malu)sakit yang tak sembuh sembuh atau sakit menahun, kebidohan, isolasi geografis maupun social serta kuatnya ikatan kelompok di masyarakat sebagai ekspresi keharusan untuk membangun sosialitas dengan tetangga. Mayoritas pelaku bunuh diri di gunungkidul adalah miskin, terisolasi, serta memliki relasi maupun mobilisasi social yang rendah .
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan maupun studi kasus yang dilakukan terhadap para keluarga maupun orang terdekat dalam kurun waktu 2007– 2008, menyatakan bahwa mereka yang melakukan bunuh diri akibat tekanan ekonomi sedikit, paling banyak adalah mereka yang melakukan bunuh diri karena stress, putus asa, sakit menahun, sedangkan karena putus cinta relative rendah. Sedangkan jenis kelamin yang didominasi oleh laki-laki secara mudah dapa dijelaskan, karena ada budaya patriarkhi di Gunungkidul yang menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga sehingga konsekuensinya laki-laki harus banyak mengambil keputusan dan banyak terlibat dalam urusan – urusan social kemasyarakatan. Keterlibatan kaum lelaki secara intensif dalam persoalan - persoalan social itu dengan sendirinya memiliki konsekuensi menambah beban hidup mereka, terlebih ditunjang oleh suatu system moral yang koersif sebagai konsekuensi dari kondisis yang ada dan seringkali aturan-aturan itu tidak memperhatikan kondisi mental masyarakat.
Pilihan modus bunuh diri yang didominasi dengan cara menggantung dengan setagen (ikat pinggang perempuan dari kain), juga bukan karena dorongan mitos pulung gantung, tetapi lebih menjelaskan kadar kehidpan atau pemikiran mereka yang amat sederhana, yang mencari cara penyelesaian dengan menggunakan hal-hal yang ada disekitar mereka. Hampir setiap rumah memiliki setagen, sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya untuk bunuhdiri, dibandingkan dengan menggunakan obat - obat serangga atau pestisida. Sedangkan untuk pilihan tempat untuk melakukan bunh diri cenderung di dalam rumah seperti di blandar, ada pula yang memilih di pohon. Namun kebanyakan adalah di dalam rumah karena lebih didorong oleh keinginan agar tindakannya tidak cepat diketahui oleh orang lain sehingga bisa berhasil.
Lokasi kejadian bunuh diri biasanya langsung di bongkar, hal itu apabila keadiannya di dalam rumah. Dan jika pohon, biasanya ditebang hingga akar-akarnya, hal itu karena akan mengingatkan kembali kenangan saat korban masih hidup.