Ironi Hari Bumi

Climate change, and how we address it, will define us, our era and ultimately the global legacy we leave for future generations.

(United Nations Secretary-General Ban Ki-moon)


Sejenak berpikir tentang pernyataan diatas yang menyatakan bahwa perubahan iklim adalah tantangan besar skala global dan ia berusaha untuk menginisiasi usaha penanggulangan perubahan iklim oleh komunitas internasional dengan mengumpulkan pemimpin-pemimpin dunia dan memastikan bahwa semua bagian dari sistem PBB berkontribusi terhadap usaha ini. Sebagai forum global dengan partisipasi dari seluruh dunia, PBB diposisikan untuk melakukan pendekatan-pendekatan tersebut dalam mengatasi perubahan iklim. Sebuah tantangan yang besar untuk aksi secara menyeluruh dalam mengatasi perubahan iklim ini.

Bukan sesuatu yang tanpa alasan untuk melakukan hal tersebut. Telah banyak kesepakatan dihasilkan untuk mengatasi perubahan iklim ini, tetapi semakin banyak masalah pula yang menghambatnya. Kita tahu ebelas dari dua belas tahun terakhir merupakan tahun-tahun terhangat dalam temperatur permukaan global sejak 1850. Tingkat pemanasan rata-rata selama lima puluh tahun terakhir hampir dua kali lipat dari rata-rata seratus tahun terakhir. Temperatur rata-rata global naik sebesar 0.74oC selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan.

Sekarang pertanyaan yang harus diajukan adalah apakah butuh secara internasional untuk mengatasi perubahan iklim ini? Sepertinya tidak sepenuhnya benar. Perubahan iklim menunjuk pada adanya perubahan pada iklim yang disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan juga terhadap variabilitas iklim alami yang diamati selama periode waktu tertentu (United Nations Framework Convention on Climate Change). Apa yang dilakukan oleh manusia secara mandirilah yang menyebabkan semua perubahan terjadi.

Sebentar lagi kita sampai pada saat untuk merasakan bumi tempat kita berpijak : “Hari Bumi”. Disana tertanam semangat untuk menyelamatkan bumi dari perubahan iklim yang secara tidak langsung akan memberikan efek domino terhadap semua sistem dibumi ini. Tapi apakah semangat itu akan cukup berhadapan dengan berbagai kepentingan manusia yang secara individual ingin merasakan kenyamanan. Asumsi yang nyata bahwa semangat saja tidak cukup tanpa adanya tindakan yang konkrit.

Bercermin pada cermin yang retak, itulah kata yang tepat untuk peringatan setiap tahun hari bumi. Saat itu bumi terbatuk dalam penyakit kronis yang sebanarnya akan fatal terhadap peradaban manusia itu sendiri. Akankah kita kembali ke zaman batu lagi?

Semangat itu masih membara, dengan tekanan yang semakin dalam. Kadang-kaddang apa yang kita perjuangkan untuk menyelamatkan bumi itu merupakan sesuatu yang berbahaya untuk bumi itu sendiri. Hanya orang-orang baik saja yang tepat untuk mendapatkan penghargaan sebagai penerus kehidupan. Siapakah?


Nurul Ihsan Fawzi

Mahasiswa Fakultas Geografi

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar